Tersenyum Hadapi Kelaparan
Jatuh bangun, kesusahan dan kesengsaraan adalah "baju kesabaran" seseorang yang akan sukses hidupnya.
Pelajaran hidup seseorang adalah "teks" kehidupan yang nyata. Ia adalah cermin bagi siapapun, ia adalah salah satu ayat-ayat Tuhan yang bertebaran di alam semesta. Dibalik cermin kita bisa menangkap kesabaran, kesalahan, kegigihan dan bahkan keputusasaan.
semua punya makna, dan bisa menjadi lebih bermakna lagi kalau mau melihat dan merasakan bahwa, jatuh bangun, susah dan sengsara adalah "baju kesabaran" seseorang yang akan kesuksesan hidupnya. Dan terminologi kesusahan dan kesengsaraan haruslah bebas dimensi. Baik ruang dan waktu,maupun jarak kehidupan.
Banyak orangtua hidupnya susah payah, mengikhlaskan kesengan dan bercengkerama dengan kesederhanaan, demi masa depan anaknya yang lebih mulia. Tetapi pada sisi lain kita bisa menyaksikan ada orang yang memilih kesenangan diri sendiri, demi status yang namanya keberhasilan. Tetapi hanya orang yang memahami makna substansi keberhasilan yang mampu melihat keberhasilan adalah perjalan panjang kehidupan. Keberhasilan bukan datang begitu saja, ia melewati rute panjang dengan "ranjau-ranjau" yang namanya kegagalan.
Soichiro Honda, pendiri perusahaan raksasa Honda, pernah berucap. "Orang melihat kesuksesan saya hanya 1%, tetapi mereka tidak melihat 99% kegagalan saya." Sebuah kalimat pendek yang mengandung banyak pelajaran.
Generasi Junk Food
Orang tidak mampu menangkap setiap pelajaran sejarah seseorang, sebagai bagian yang harus ia nilai, catat dan tauladani. Orang suka menilai kekinian, konteks sekarang, tanpa pernah mau menilai jalan panjang perjalanan seseorang. Zaman sering mengajari budaya instan, yang tak mau lagi berpikir panjang.
peradaban seseorang telah membangun generasi junk food, generasi cepat saji. Generasi yang bagaimana esok berhasil, tetapi menolak kalau esok adalah kematian. Padahal keberhasilan dan kematian adalah sebuah keniscahayaan yang dihadapi setia manusia. Sebuah kata yang punya makna sejajar. Keberhasilan diperebutkan dengan pemaksaan waktu, kecepatan yang tentu saja melawan kodrat.
Apa yang akan kita tawarkan pada masa depan anak kita dengan pola instan ini ? bukankah itu semua arifisial ? sebuah ke " seolah-olah"-an ? ia jadi pandai, ia jadi juara dengan rengking tertentu, seolah sebuah kemuliaan. UNAS harus bernilai baik demi nama baik orangtua dan sekolah, dengan menghapal segala cara ? Tentu sebuah realitas keprihatinan.
Anak-anak zaman ini adalah generasi "ringkih", generasi "ngeluh" dan tidak tahan banting. Mereka tidak berani menghadapi kesusahan, mereka tidak tahan akan penderitaan sebagai modal mencapai masa depan mereka sendiri. Walaupun adalah sebuah kegembiraan karena masih ada orangtua yang melatih anaknya "gagah" menghadapi kehidupan, tidak gentar menghadapi tantangan, tidak "ngalem" denga kesenangan, tidak dimanjakan dengan kemewahan. Tetapi zaman diluar dirinya berkata lain.
saya baca sejumlah biograpi tokoh-tokoh besar dunia, orang-orang berhasil, bahkan sejumlah pengusaha sukses di Indonesia, adalah anak-anak yang hebat di masanya. Ia berguru pada alam semesta. Ia hidup dan bergaul dengan kemiskinan.
Ia menyapa angin, ia akrabi awan, ia senyum menghadapi kelaparan, ia tegak berdiri menyongsong masa depan. Kesederhanaan, kejujuran adalah jiwanya. Kesusahan, kelaparan adalah baju keseharian. Dan itulah modal awal ia mampu mengusai zaman.